Tetanus
Tetanus adalah penyakit yang ditandai dengan kekakuan otot dan spasme, yang diakibatkan oleh toksin (racun) dari Clostridium tetani. Berasal dari kata Yunani “tetanos” yang berarti berkontraksi. Pada luka dimana terdapat keadaan kotor dan nekrotik, bakteri ini memproduksi neurotoksin yang disebut tetanospasmin. Neurotoksin ini mengganggu kerja neurotransmiter pada sistem saraf yang mengakibatkan kekakuan otot. Tetanus merupakan penyakit yang bisa mengenai semua orang, tidak memandang umur maupun jenis kelamin.
Tetanus didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, dan terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.
Pada negara maju, angka kejadian penyakit tetanus kecil, karena angka cakupan imunisasi sudah cukup baik. Namun, pada negara yang sedang berkembang, tetanus masih merupakan masalah kesehatan publik yang sangat besar. Hal ini mungkin dikarenakan program imunisasi yang tidak adekuat.
Sebagai gambaran C. tetani adalah bakteri berbentuk batang gram positif anaerobik yang ditemukan di tanah dan kotoran hewan, dapat memproduksi spora. Spora/bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Dengan konsentrasi sangat rendah saja toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus. Toksin yang berada di dalam tubuh menghambat pelepasan transmitter inhibisi dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron (menghambat pengeluaran GABA). Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teratur dari sistem saraf motorik.
Gambaran klinisnya setelah luka terkontaminasi dengan C. tetani, terdapat masa inkubasi selama 7–10 hari sebelum gejala pertama muncul. Gejala yang awal muncul adalah trismus/rahang terkunci. Menurut derajat keparahannya, tetanus dibagi menjadi 4 yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat.
Tatalaksana manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi utama adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin yang belum terikat, meminimalkan efek dari toksin dengan mempertahankan jalan nafas yang adekuat. Penanganan umum sebisa mungkin tempat perawatan pasien tetanus dipisahkan, ditempatkan pada ruangan khusus. Ruangan yang tenang serta terlindungi dari stimulus taktil dan suara. Luka yang merupakan sumber infeksi sebaiknya segera dibersihkan. Pemberian antitoksin (baik immunoglobulin manusia maupun equine antitoksin), antibiotik (seperti metronidazol, penicillin G, tetrasiklin, cephalosporin), pengontrolan spasme otot (benzodiazepin, chlorpromazin). Kontrol jalan nafas pada tetanus, harus benar-benar memonitor pernafasan serta menjaga ketat dari kemungkinan spasme laring. Penggunaan mesin ventilator atau bahkan trakeostomi dapat dipertimbangkan bila terjadi spasme pada laring. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat membantu dalam proses penyembuhan tetanus.
Pencegahan tetanus dengan penanganan luka yang baik dan imunisasi. Rekomendasi WHO mengenai imunisasi tetanus adalah 3 dosis yakni pada saat bayi, booster pada usia 4-7 tahun, 12-15 tahun dan booster terakhir pada saat dewasa. Perjalanan penyakit tetanus yang cepat menandakan prognosis yang buruk. Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan nafas. Kejang yang terus menerus dapat mengakibatkan patah dari tulang belakang, serta rhabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Selain itu juga dapat terjadi gangguan otonom seperti hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi.
Oleh sebab itu, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, hendaknya bagi bayi, ibu hamil, dan mereka yang memiliki risiko tinggi terpapar tetanus perlu dilakukan imunisasi. Apabila ada riwayat luka/kecelakaan lalu lintas, segera berobat ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang baik guna mencegah terjadi tetanus.
Dr. Benny Hartono, SpB
#RSSiloamJambi #RSSt.TheresiaJambi #RSBhayangkaraJambi