Sirosis Hati
Sirosis hati (SH) merupakan penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati. Secara klinis/fungsional perlu dibedakan antara sirosis kompensata dan dekompensata yang didasarkan pada tingkat hipertensi portal dan terjadinya komplikasi klinis. Dahulu SH dianggap sebagai proses pasif dan tidak dapat pulih kembali, namun sekarang dianggap sebagai suatu respons aktif terhadap penyembuhan cedera hati kronik yang dapat pulih kembali.
Sirosis adalah tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita usia 45–50 tahun setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Penderita SH lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 1,6:1. Penyebab SH sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik dan non alkoholik steatohepatitis serta hepatitis. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia penyebab utama SH ialah hepatitis B dan hepatitis C.
Beberapa penyebab sirosis hepatis:
- Penyakit hati alkoholik
- Hepatitis C kronik
- Hepatitis B kronik dengan/tanpa hepatitis D
- Steatohepatitis non alkoholik
- Sirosis bilier primer
- Kolangitis sklerosing primer
- Hepatitis autoimun
- Hemokromatosis herediter
- Penyakit Wilson
- Defisiensi Alpha 1 antitrypsin
- Sirosis Kardiak
- Galaktosemia
- Fibrosis Kistik
- Hepatotoksik akibat obat/toksin
- Infeksi parasit Schistosomiosis
Diagnosis SH yang asimptomatis biasanya dibuat secara insidental ketika tes pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau penemuan radiologi, sehingga penderita melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan biopsi hati. Sebagian besar penderita datang berobat biasanya sudah dalam stadium dekompensata disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis bakterialis spontan atau ensefalopati hepatis.
Gambaran klinis dari penderita SH antara lain mudah lelah, anoreksia, berat badan menurun, atrofi otot, ikterus, splenomegali, ascites, caput medusae, palmar eritema, ginekomastia, perubahan kuku (white nails, clubbing), spider naevi, flapping tremor, foetor hepaticus, hilangnya rambut pubis dan ketiak serta kontraktur Dupuytren.
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk SH adalah aminotransferase (ALT dan AST), alkali fosfatase, gamma-glutamil transferase, bilirubin, albumin, globulin, prothrombin, anemia, serologi virus hepatitis, pemeriksaan autoantibodi, alpha 1 antitrypsin.
Pada pemeriksaan pencitraan dapat dilakukan USG, MRI dan CT scan perut. Pada pemeriksaan MRI dan CT scan bisa digunakan untuk menentukan derajat beratnya SH dengan menilai ukuran lien, ascites dan kolateral pembuluh darah. Semua alat bantu ini juga dapat mendeteksi adanya karsinoma hepatoseluler.
Baku emas untuk penegakkan diagnosis SH adalah biopsi hati melalui perkutan, laparoskopi atau dengan biopsi jarum halus. Biopsi tidak perlukan apabila secara klinis, pemeriksaan laboratorium dan radiologi menunjukkan kecenderungan SH. Sebab walaupun biopsi hati risikonya kecil tapi dapat berakibat fatal misalnya perdarahan dan kematian.
Penanganan SH ditujukan pada penyebab hepatitis kronik. Hal ini ditujukan untuk mengurangi progresifitas penyakit agar tidak semakin lanjut dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoseluler. Untuk penanganan akibat infeksi HBV atau HCV, dapat diberikan preparat interferon atau preparat analog nukleosida. Juga perlu dikontrol komplikasi SH antara lain hipertensi portal, ascites, peritonitis bakterial spontan, sindroma hepatorenal, perdarahan varises esofagus, ensefalopati hepatikum dan kanker hati.
Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk menilai keparahan SH dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring yang ada yakni Child Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage liver disease (MELD) yang digunakan untuk evaluasi penderita dengan rencana transplantasi hati.
Penulis :
Dr. Benny Hartono, Sp.B
Dokter Bedah Umum Kota Jambi