Rabies Akibat Gigitan Hewan
Suatu hal yang paling dikhawatirkan dari gigitan hewan selain infeksi adalah penyakit rabies. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas mengenai rabies dan bagaimana tata penatalaksanaannya.
Rabies merupakan penyakit zoonosis virus yang fatal. Penyakit ini tersebar di seluruh benua dan endemis di beberapa negara Asia dan Afrika. Diperkirakan 55.000 orang meninggal dunia setiap tahun. Indonesia sendiri memiliki status sebagai negara dengan medium endemic untuk kasus rabies.
Penyebab penyakit ini adalah virus rabies yang bersifat neurotropik dan menyebabkan peradangan otak dan selaputnya. Infeksi melalui liur dan gigitan anjing, kucing, rubah, serigala, kelelawar yang menderita rabies, dimana gigitan anjing merupakan sumber utama infeksi pada manusia. Karena penyakit ini fatal maka memerlukan pencegahan dini. Pada umumnya penderita apabila terkena rabies jatuh dalam keadaan buruk. Di Indonesia penyakit ini dikenal sebagai penyakit anjing gila.
Masa inkubasinya 10 hari hingga beberapa bulan. Penyakit ini berkembang secara sporadis dan 50% kasus rabies pada manusia disebabkan kontak dengan hewan liar dengan bekas gigitan dan cakaran. Risiko tertular rabies tergantung pada lokasi dan keparahan gigitan. Dilaporkan risiko terinfeksi rabies pada orang yang tidak divaksinasi yang mengalami gigitan multipel, berat, di daerah kepala adalah 50–80%; gigitan multipel, berat, pada jari tangan, tangan atau lengan adalah 15–40%, gigitan multipel, berat, di tungkai bawah adalah 3–10%. Setiap penderita yang berhubungan dengan hewan yang menderita rabies harus diobservasi dengan cermat. Hewan harus diobservasi lebih kurang 10 hari dengan tandanya gelisah, agresif, tidak mau makan dan minum serta hidrofobia (takut akan air).
Diagnosis pada manusia ditegakkan dengan tes antibodi netralisasi rabies yang positif dan gejala klinisnya. Sedangkan diagnosis pada hewan ditegakkan dengan pemeriksaan otak secara otopsi. Pada otopsi otak akan ditemukan badan inklusi virus Negri’s bodies di dalam sel saraf. Pada umumnya semua penderita meninggal.
Gejala klinis stadium prodromal tidaklah spesifik. Dimulai nyeri kepala, demam yang kemudian diikuti dengan anoreksia, mual muntah, malaise, kulit hipersensitif, serak dan pembesaran kelenjar limfe regional. Pada masa perangsangan akut (agitasi) ditandai adanya kecemasan, berkeringat, gelisah oleh suara atau cahaya terang, salivasi, insomnia, nervousness, spasme otot kerongkongan, tercekik, sukar menelan cairan/ludah, hidrofobia, kejang, perubahan tingkah laku. Sekitar 50–80% penderita menunjukkan tanda hidrofobia, yang merupakan manifestasi klinis khas rabies. Pada tingkat lebih lanjut, terjadi masa kelumpuhan. Kelumpuhan terjadi akibat kerusakan sel saraf. Penderita menjadi kebingungan, sering kejang, inkontinensia urin maupun alvi, stupor, koma, kelumpuhan otot serta kematian.
Penatalaksanaan terhadap hewan, bila hewan tertangkap, harus diobservasi selama 10 hari. Apabila dalam 10 hari tersebut menunjukkan tanda-tanda menderita rabies atau hewan tersebut mati karena sebab apapun, maka jaringan otaknya perlu diambil kemudian dikirim ke laboratorium untuk diperiksa. Spesimen pemeriksaan laboratorium dapat berupa saliva, serum, cairan otak, biopsi kulit leher, epitel kornea dan jaringan otak. Metode pemeriksaan meliputi deteksi antibodi terhadap virus, deteksi antigen melalui direct FAT atau ELISA, deteksi RNA virus dengan pemeriksaan PCR, isolasi virus dan pemeriksaan histopatologis untuk melihat Negri’s bodies yang khas pada rabies. Hewan yang tidak divaksinasi dan berhubungan dengan hewan yang menderita rabies, maka binatang liarnya dibunuh, dan hewan peliharaan dikarantina selama 3 bulan dan divaksinasi.
Penatalaksanaan terhadap manusia, luka harus dibersihkan dangan sabun dan air berulang kali, irigasi dengan larutan betadine, bila perlu dilakukan debridemen. Balut luka secara longgar dan observasi luka, berikan serum anti rabies (SAR). Terdapat 2 jenis SAR yaitu human rabies immune globulin (HRIG) dan equine rabies immune globulin (ERIG). Bila luka gigitan berat, beri suntikan infiltrasi antirabies di daerah luka. Dosis HRIG yang dianjurkan 20 IU/kgBB, sedangkan ERIG 40 IU/kgBB.
Vaksinasi anti rabies (VAR) berperan dalam merangsang respon kekebalan tubuh terhadap rabies. Setelah pemberian VAR, antibodi penetral rabies mulai tampak pada hari ke 7 sampai 10 dan bertahan selama 1 tahun. Dosis VAR pada orang dewasa 0.5 cc secara intramuskular (IM) atau 0.1 cc intradermal (ID). Lokasi suntikan IM dianjurkan pada daerah deltoid. Tidak dianjurkan suntikan daerah bokong, oleh karena bokong terdapat banyak lemak yang dapat memperlambat terbentuknya antibodi.
Terdapat beberapa cara regimen untuk pemberian VAR ini :
- Regimen Essen : pemberian secara IM, 1 dosis diberikan hari 0, 3, 7, 14 dan 28
- Regimen Zagreb : pemberian secara IM, 2 dosis diberikan hari 0 (deltoid kanan dan kiri), selanjutnya 1 dosis pada hari ke 7 dan 21
- Regimen Thai Red Cross : pemberian secara ID, 1 dosis diberikan lengan atas kanan dan kiri pada hari 0, 3, 7 dan 28
Pengobatan vaksinasi harus dihentikan bila penderita menunjukkan tanda-tanda neurologis seperti ensefalitis pasca vaksinasi.
Penulis oleh :
Dr. Benny Hartono, SpB, FinaCS Bedah Umum Jambi